Tugas Softskill Tentang Ancaman Nasional
ANCAMAN
NASIONAL
Baru – baru ini Publik dihebohkan dengan Seorang
anggota TNI AD berpangkat kolonel, dengan inisial A, bersama seorang warga
sipil berinisial M ditangkap polisi di halaman parkir Rumah Sakit UKI,di
Cawang, Jakarta Timur pada Selasa (7/6), terkait peredaran uang palsu.
Barang
bukti Rp. 300 juta Uang palsu pecahan Rp. 100 ribu
yang disita
polisi dari tangan Kolonel A.
Kolonel A, yang saat ini aktif bekerja di kantor
Kemenhan, kedapatan memiliki dan mengedarkan uang palsu pecahan Rp 100 ribu
sebanyak 3 ribu lembar atau setara dengan Rp 300 juta.
Akibat perbuatannya, Kolonel A, saat ini harus
mendekam di sel tahanan Detasemen Polisi Militer Jakarta Raya Cijantung (Denpom
Jaya/II Cijantung) Jakarta Timur. “Yang bersangkutan berada di Denpom Jaya/II
Cijantung,” kata Komandan Denpom Jaya/II Cijantung, Letkol CPM Joni Kuswaryanto
saat dikonfirmasi kantor Berita Antara, Rabu (8/6).
Atas kasus ini, pihak Pomdam Jaya/ II Cijantung
berkoordinasi dengan Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri untuk tindak
lanjut kasus yang telah mencoreng wajah Korps TNI. “Nanti kami yang proses,”
kata Joni.
Kementerian Pertahanan (Kemhan) ketika dihubungi
terpisah, membenarkan dan telah menyerahkan sepenuhnya kasus uang palsu yang
melibatkan oknum TNI yang merupakan salah seorang pejabat di kementeriannya,
kepada aparat penegak hukum. “Iya (oknum tersebut pegawai Kemhan). Kita tunggu
prosesnya, kita tidak bisa mendahului prosesnya. Kita tunggu,” kata Dirjen
Potensi Pertahanan Kemhan, Timbul Siahaan di Jakarta, Rabu (8/6). Ia
menegaskan, akan memberikan sanksi tegas bila yang bersangkutan terbukti
bersalah. “Kalau melanggar disiplin ada aturannya, siapapun dari mulai diri
sendiri, keluarga, hingga nasional ada aturannya, kalau melanggar ada sanksi
yang diberi. Apalagi di TNI ada komitmen, begitu juga di Kemhan,” tegas Timbul.
(marksman/ sumber : antaranews.com dan tempo.co)
Kita akan bahas “Pencucian Uang” menurut UUD
Di
Indonesia, kasus pencucian uang yang terjadi dan terungkap dalam satu dekade
ini sudah tidak dapat dihitung dengan jari. Khalayak mudah mengetahuinya dari
banyak pemberitaan-pemberitaan mengenai kasus tersebut di berbagai media yang
beredar di masyarakat. Dalam artikel ini, kami belum akan membahas mengenai
kasus-kasus pencucian uang yang ada di Indonesia, tapi kami akan memulainya
dengan mengetengahkan apa itu pencucian uang dan apa yang menjadi dasar
hukumnya di Indonesia.
Dasar Hukum
Pencucian Uang
Saat ini
yang menjadi dasar hukum pencucian uang adalah “Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang”
(UU 8/2010), dimana Undang-Undang tersebut menggantikan undang-undang
sebelumnya yang mengatur pencucian uang yaitu, “Undang-Undang Nomor 15 Tahun
2002″ (UU 15/2002) sebagaimana telah diubah dengan “Undang-Undang Nomor 25
Tahun 2003″ (UU 25/2003)
Definisi dan
Tahapan Pencucian Uang
Dalam sebuah
literatur tentang Kriminologi, Hagan (2013) menyatakan bahwa definisi
pencucian uang berkenaan dengan kegiatan membersihkan atau mencuci “uang
kotor” (dana-dana ilegal). Dari definisi harfiah dan sederhana tersebut,
kami menyimpulkan bahwa prinsip dasar kegiatan pencucian uang yaitu mengubah
dari sesuatu yang kotor menjadi bersih, dari sesuatu yang ilegal menjadi legal.
Sedangkan,
mengacu pada UU 8/2010, pencucian uang didefinisikan sebagai kegiatan:
menempatkan, mentransfer, mengalihkan membelanjakan, membayarkan, menghibahkan,
menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata
uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas harta kekayaan yang
diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dengan tujuan
menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan (Pasal 3);
menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber, lokasi, peruntukan,
pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas harta kekayaan yang
diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana (Pasal 4); dan
menerima, menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan,
penitipan, penukaran, atau menggunakan harta kekayaan yang diketahuinya atau
patut diduganya merupakan hasil tindak pidana (Pasal 5).
Dari
definisi menurut UU 8/2010 di atas, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi
Keuangan (PPATK) dalam PPATK E-Learning (2014) mengelompokkan pelaku pencucian
uang ke dalam 2 klasifikasi, yaitu pelaku pencucian uang aktif dan pelaku
pencucian uang pasif. Pelaku pencucian uang aktif, yaitu pelaku yang memenuhi
Pasal 3 dan Pasal 4 UU 8/2010, dimana pelaku pencucian uang adalah sekaligus
pelaku tindak pidana asal dan merupakan pihak yang mengetahui atau patut
menduga bahwa harta kekayaan berasal dari hasil tindak pidana. Pelaku pencucian
uang pasif, yaitu pelaku yang dikenakan Pasal 5 UU 8/2010, dimana pelaku
pencucian uang adalah pihak yang menikmati manfaat dari hasil kejahatan dan
berpartisipasi menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan.
Hagan (2013) juga menjelaskan tiga (3)
tahap dalam pencucian uang, yaitu:
- Placement. Dalam tahap ini pelaku mengumpulkan uang-uang kotornya dan memasukkan atau menempatkannya ke dalam suatu sistem finansial.
- Layering. Dalam tahap ini pelaku menyamarkan jejak uang dengan cara mentransfer uang ke rekening bank perusahaan palsu, menciptakan faktur palsu dan perusahaan menggunakan bank asing dan melakukan wire transfer [transfer uang antar bank antar negara].
- Integration. Dalam tahap ini merupakan keadaan dimana uang sudah dapat digunakan untuk berbagai macam investasi, donasi kampanye politik, dan disusupkan untuk perusahaan yang sah.
Lebih jelas
lagi, PPATK (2011) mendefinisikan placement sebagai fase
menempatkan uang yang dihasilkan dari suatu aktivitas kejahatan misalnya dengan
pemecahan sejumlah besar uang tunai menjadi jumlah kecil yang tidak mencolok
untuk ditempatkan dalam sistem keuangan baik dengan menggunakan rekening
simpanan bank, atau dipergunakan untuk membeli sejumlah instrumen keuangan
(misalnya cek atau giro)yang akan ditagihkan dan selanjutnya didepositokan di
rekening bank yang berada di lokasi lain. Placement dapat pula dilakukan
dengan pergerakan fisik dari uang tunai, baik melalui penyelundupan uang tunai
dari suatu negara ke negara lain, dan menggabungkan antara uang tunai yang
berasal dari kejahatan dengan uang yang diperoleh dari hasil kegiatan yang sah.
Layering diartikan sebagai memisahkan hasil
tindak pidana dari sumbernya yaitu aktivitas kejahatan yang terkait melalui
beberapa tahapan transaksi keuangan. Dalam hal ini terdapat proses pemindahan
dana dari beberapa rekening atau lokasi tertentu sebagai hasil placement ke
tempat lainnya melalui serangkaian transaksi yang kompleks yang didesain untuk
menyamarkan/menyembunyikan sumber uang “haram” tersebut.
Integration, yaitu upaya untuk menetapkan suatu landasan sebagai
suatu ’legitimate explanation’ bagi hasil kejahatan. Disini uang yang
‘dicuci’ melalui placement maupun layering dialihkan ke dalam kegiatan-kegiatan
resmi sehingga tampak tidak berhubungan sama sekali dengan aktivitas kejahatan
sebelumnya yang menjadi sumber dari uang yang di-laundry. Pada tahap ini
uang yang telah dicuci dimasukkan kembali ke dalam sirkulasi dengan bentuk yang
sejalan dengan aturan hukum.
Tindak
Pidana Asal (predicate crime) Pencucian Uang
Pasal 2 UU
8/2010 menggunakan unsur “hasil tindak pidana”, sementara Hagan (2013)
menggunakan istilah “uang kotor” dalam definisinya tentang pencucian uang.
Kedua definisi tersebut memiliki persamaan yang menggambarkan bagaimana uang
yang diperoleh merupakan hasil dari kejahatan (ilegal)—kemudian uang hasil dari
kejahatan tersebut diproses melalui pencucian uang, dimaksudkan agar menjadi
legal. Kejahatan apa saja yang menjadi sumber dana untuk pencucian uang? Atau
dengan kalimat lain, kejahatan apa yang merupakan tindak pidana asal (predicate
crime) terjadinya pencucian uang?
Mengacu pada
Pasal 2 UU 8/2010, yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana asal bagi
terjadinya pencucian uang, antara lain: korupsi, penyuapan, narkotika,
psikotropika, penyelundupan tenaga kerja, penyelundupan migran, di bidang
perbankan, di bidang pasar modal, di bidang perasuransian, kepabeanan, cukai,
perdagangan orang, perdagangan senjata gelap, terorisme, penculikan, pencurian,
penggelapan, penipuan, pemalsuan, perjudian, prostitusi, di bidang perpajakan,
di bidang kehutanan, di bidang lingkungan hidup, di bidang kelautan dan
perikanan, atau tindak pidana lain yang diancam dengan penjara 4 tahun atau lebih.
Selanjutnya Kita Tinjau dari Segi Pancasila
Dasar filosofis adalah pandangan hidup bangsa Indonesia dalam berbangsa
dan bernegara, yaitu Pancasila. Penjabaran nilai-nilai Pancasila di
dalam hukum mencerminkan suatu keadilan, ketertiban, dan kesejahteraan yang
diinginkan oleh masyarakat Indonesia. Rumusan Pancasila yang terdapat di
dalam Pembukaan (Preambule) Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) terdiri dari empat alinea. Alinea keempat
memuat rumusan tujuan negara dan dasar negara. Dasar negara adalah
Pancasila, sedangkan keempat pokok pikiran di dalam Pembukaan UUD 1945
pada dasarnya untuk mewujudkan cita hukum (rechtsides) yang menguasai
hukum dasar negara baik yang tertulis maupun tidak tertulis.
Batang tubuh UUD 1945 mengatur pokok-pokok pikiran tersebut dalam pasal-pasalnya,
dengan kata lain batang tubuh atau pasal-pasal di dalam UUD 1945
merupakan perwujudan dari cita hukum. Pancasila sebagai norma filosofis
negara dan merupakan sumber cita hukum yang terumuskan lebih lanjut
dalam tata hukum atau hierarki peraturan perundang-undangan yang sekaligus
menjadi “kaedah dasar fundamental negara”.
Dengan jelas dan terang dinyatakan, bahwa tujuan negara adalah
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban
dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Butir kedua dari Pancasila adalah kemanusiaan yang adil dan beradab yang secara
filosofis mencerminkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia menjamin
terlindunginya harkat dan martabat kemanusiaan dan menjamin tegaknya hukum dan
keadilan. Dalam hubungan ini, salah satu bentuk ancaman terhadap nilai-nilai
kemanusiaan itu sendiri adalah kejahatan. Oleh sebab itu, kejahatan harus
dicegah dan diberantas karena sangat bertentangan bahkan dapat menghancurkan
nilai-nilai kemanusiaan. Salah satu bentuk kejahatan dimaksud adalah tindak
pidana pencucian uang (TPPU). Tindak pidana pencucian uang adalah kejahatan
yang dapat merusak sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. Hal ini tidak terlepas dari dampak negatif tindak pidana pencucian
uang antara lain dapat meningkatkan motivasi seseorang atau organisasi
kejahatan untuk mengembangkan kejahatannya yang pada gilirannya dapat pula menciptakan
kemiskinan dan kebodohan, merusak struktur keuangan dan perekonomian serta
terganggunya stabilitas pemerintahan.
Sistem dan mekanisme penegakan hukum pencucian uang atau rezim
anti-pencucian uang, berbeda dengan penegakan hukum tindak pidana konvensional.
Pengungkapan tindak pidana dan pelaku tindak pidana pencucian uang lebih
difokuskan pada penelusuran aliran dana/uang haram (follow the money)
atau transaksi keuangan. Dengan kata lain, penelusuran aliran dana melalui
transaksi keuangan, merupakan cara yang paling mudah untuk menemukan jenis
kejahatan, pelaku kejahatan dan tempat dimana hasil kejahatan disembunyikan
atau disamarkan. Pendekatan ini tidak terlepas
dari paradigma pencucian uang bahwa hasil kejahatan (proceeds of crime)
merupakan “life blood of the crime”, artinya hasil kejahatan merupakan
darah yang menghidupi tindak kejahatan itu sendiri sekaligus titik terlemah
dari mata rantai kejahatan.
Dengan memperhatikan dampak serius yang ditimbulkan sebagaimana telah
diuraikan di atas, dan tujuan mulia dibangunannya rezim anti-pencucian uang,
maka pembangunan hukum pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian
uang yang komprehensif, konsisten, sistemik, serta mampu memberikan kepastian
dan jaminan perlindungan hukum bagi masyarakat menjadi sangat urgen di masa
mendatang.
Selanjutnya Kita Tinjau dari Segi NKRI
a)
Kebijakan Pengedaran Uang Di Beberapa
Negara
Kemajuan teknologi memicu percepatan
ekonomi yang lebih cepatlagi sehingga perputaran uang pun semakin besar, sesuai
dengan otoritas negara masing bagamana mengatur peredaran uang ini. Mekanisme
pengedaran uang di beberapa negara di dunia cendrung banyak kesamaan, karena
sistem itu sudah dijalankan betahun-tahun dan terbukti paling efektif
diterapkan di suatu negara, hanya yang mebedakannya adalah wewenang moneter
masing-masing negara. Sepertihalnya pada filipina dengan BPS (Bank Sentraling
pilipinas) jika ada kerusakan pada uang kartal, tidak ada penuran atau
gantirugi seperti di Indonesia. Seperti di Malaysia (BNM) Bank sentral
Malaysia, uang kertas pada negara ini dicetak diluar negri dengan menggunakan
sistem tender, sedangkan uang koinnya dicetak di dalam negri di The royal Mint
of Malaysia.
b)
Kebijakan Pengedaran Uang Di Indonesia
Dalam mencapai stabilitas jumlah
uang yang beredar dimasyarakat, bank indonesia sebagai bank sentral di
Indonesia selalu berusaha dengan berbagai kebijakannya yang dirumuskan dengan
memenui kebutuhan uang rupiah di masyarakat dalam jumalah nominal yang cukup,
jenis pecahan yang sesuai, tepat waktu, dan dalam kondisi yang layak edar. Jika
dijabarkan misi tersebut adalah sebagai berikut:
1.
Setiap uang yang diterbitkan harus dapat mempermudah kelancaran transaksi
pembayaran tunai, dapat diterima, dan dipercaya oleh masyarakat. Dengan
karakteristik uang mudah digunakan dan nyaman, tahan lama, mudah dikenali, dan
sulit dipalsukan.
2.
Bank Indonesia mengupayakan agar uang yang beredar dimasyarakat cukup dan
memperhatikan kesesuain jenis pecahannya.
3.
Terdapat lembaga yang mewadai uang tersebut secara regional maupun nasional.
Dalam pencapaian misi diatas, Bank Indonesia
merumuskan kegiatan startegis pengedaran uang sebagai berikut:
1.
Penerbitan uang baru harus dilaksanakan berdasarkan penelitian dan perencanaan
yang sebaik-baiknya
2.
Tersianya stok uang yang cukup dengan dukungan distribusi uang yang maksimal
3.
Distribusi uang yang cukup, lancar dan tepat waktu
4.
Adanya kebijakan lembaga keungan lainnya demi kelancaran peredaran uang dari
Bank Indonesia yang melalui:
·
Kebijakan dalam mengatur jumlah uang dalam kas lembaga
tersebut
·
Mendorong terbentuknya lembaga cash/money center yang
memiliki fungsi pemrosesan uang
·
Kegiatan penukaran uang dilakukan lembaga keuangan
diluar Bank Indonesia
·
Mondorong sirkulasi uang antar bank yang surplus
dengan bank yang defisit
·
Penyempurnaan dalam bidang pengedaran uangyang
berkaitan dengan infrastruktur
·
Memajukan teknologi informasi masalah keuangan yang
cepat dan akurat
c)
Manajemen Pengedaran Uang
Fungsi manajemen yang meliputi
Planing, Organizing, Actuating dan Controling yang diterapkan dalam pengedaran
uang yang dimuali dari perencanaan jumlah uang yang diedarkan berdasarkan
penelitian, pengorganisasian uang yang beredar, dan mengedarkan uang ke
masyarakat lalu tahap evalusi yang nantinya uang tersebut akan kembali kepada
Bank Indonesia. Pengedaran uang dapat melalui empat fase yaitu fase pengeluaran,
pengedaran, pencabutan dan penarikan serta pemusnahan uang rupiah dan
penanggulangan uang palsu.
Pengeluaran Uang Rupiah, pengeluaran
ini maksudnya adalah menerbitkan uang kartal, dalam penerbitan uang harus
sesuia perencanaan yang matang dan komprehensif agar uang yang diterbitkan
mempunyai mutu yang baik dan dapat dipercaya oleh masyarakat dengan cara:
Perencanaan penerbitan uang emisi baru dan Perencanaan distribusi Uang
d)
Perencanaan penerbitan uang emisi baru
Dalam penerbitan uang emisi baru harus memperhatikan
kepercayaan masrakat akan uang tersebut, adapun pedoman dalam penciptaan uang
baru sebagai berikut:
Menata kembali satuan hitung suatu
uang agar lebih sederhana dan memperlancar transaksi pembayaran tunai
Pecahan baru yang diterbitkan
haruslah mengikuti perkembangan ekonomi seperti tingkat inflasi dan perubahan
nilai tukar
Perubahan-perubahan pada uang(
(bahan maupun teknik cetaknya) demi meningkatkan kualitas atau efisiensi
mencetakan uang dengan cara merubah ukuran uang, perubahan teknik cetak,
penambahan unsur keamanan uang maupun gambargambar desain. Terdapat kewajaran
antara niali intrinsik dan nomilnal pada uang logam.
Penerbitan uang khusus guna untuk memperingati
kejadian momental seperti peringatan hari kemerdekaan atau hari anank sedunia
yang sifatnya internasional, nantinya akan mendapatkan royalti dari pembuatan
uang khusu ini yang direalisasikan kepada pembangunan demi kesejahteraan rakyat
banyak.
PENANGGULANGAN
UANG PALSU
Dalam rangka ikutserta dalam penanggulangan uang palsu,
Bank Indonesia melakukan upaya prefentif, sedangkan upaya represif merupakan
kewenangan apartur penegak hukum. Meskipun bank indonesia sebagai otoritas
moneter tunggal, Bank Indonesia tidak mempunyai kewenangan menindak kejahatan
pemalsuan uang. Selain upaya preventif, Bank Indonesia juga memberikan bantuan
teknis seperti tenaga ahli yang diperlukan aparat penegak hukum baik
kepolisian, kejaksaan maupun pengadilan. Bank Indonesia juga menatausahakan
data temuan uang palsu yang dilaporkan oleh perbankan serta berkerjasama dalam
wadah BOTASUPAL (Badan Koordinasi Pemberantasan Uang Palsu). Penangulangan
secara preventif ini meliputi:1. Pemilihan tanda pengaman yang baik;2.
Sosialisasi ciri uang yang asli kepada masyarakat;3. Penelitian terhadap
security features yang sudah dapat dipalsu dan perkembangan teknologi pemalsuan
uang sebagai masukan untuk pengan dalam uang emisi baru;4. Meningkatkan
koordinasi dan kerjasama dengan instansi terkait misalnya pelatihan/peningkatan
pengetahuan bagi para penyuluh baik Bank Indonesia maupun dari BOTASUPAL,
kepolisian dan perbankan.
CARA
PEMUSNAHAN UANG TAK LAYAK EDAR
Mungkin kita belum tahu, Bank Indonesia punya
prosedur untuk memusnahkan uang dengan kondisi tidak layak edar itu. Aturan
tersebut tertuang tertuang dalam Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia yang kemudian diubah beberapa kali, terakhir dengan
Undang-Undang No 6 Tahun 2009. Dalam undang-undang itu jelas diatur, misi Bank
Indonesia soal peredaran uang adalah memenuhi kebutuhan uang di masyarakat
dengan jumlah nominal yang cukup, jenis pecahan yang sesuai, tepat waktu, dan
kondisinya layak edar.
Ada juga UU Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang
dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/7/PBI/2012 tentang Pengelolaan Uang
Rupiah. Merujuk semua peraturan-perundangan tersebut, pada prinsipnya uang tak
layak edar harus dimusnahkan. Lalu uang yang dimusnahkan pun diganti dengan
uang yang kondisinya baik.
Untuk pelaksanaannya, pemusnahan uang tak layak
pakai dikoordinasikan antara Bank Indonesia dan Pemerintah. Setiap tahun,
laporan pemusnahan uang itu pun harus masuk dalam Lembaran Negara. Seberapa
banyak uang tak layak edar yang harus dimusnahkan? Tentu itu tergantung pada
beberapa variabel yang juga menentukan kebutuhan uang beredar di masyarakat.Untuk
mengetahui banyak sedikitnya uang beredar di masyarakat bisa mengacu pada data
kecepatan perputaran uang, angka inflasi, pendapatan domestik bruto, kondisi
perbankan saat itu, dan pengaruh musiman.
Aktivitas perekonomian pun menjadi indikator penting
yang menentukan arah arus peredaran uang, antara yang 'keluar' dari Bank
Indonesia dan 'kembali' ke bank sentral ini. Untuk memastikan fungsi uang
terjaga, uang beredar pun harus dipastikan tidak kurang maupun berlebihan
jumlahnya.
Pada 2013, Bank Indonesia memusnahkan uang tak layak
edar sebanyak 5 juta lembar uang kertas dan hampir 107 ribu keping uang logam.
Yang paling banyak dimusnahkan adalah pecahan Rp.50.000 dan Rp.2.000.
Pemusnahan uang tak layak edar dilakukan terhadap uang yang 'kembali' ke Bank
Indonesia melalui mekanisme peredaran uang lewat perbankan atau pun penukaran
langsung oleh masyarakat.
Lalu seperti apa cara pemusnahan uang yang tak layak
pakai? Pemusnahan uang dilakukan dengan cara meracik uang kertas dengan
menggunakan mesin dan melebur uang logam, sampai benar-benar tak lagi
menyerupai uang. Ada prosedur pengamanan selama pemusnahan, termasuk pengawasan
ketat yang juga dilengkapi perekaman video.
Uang tak layak edar sebaiknya ditukarkan ke Bank
atau Bank Indonesia untuk kemudian dapat dimusnahkan. Ini perlu dilakukan agar
fisik uang yang beredar di masyarakat terjaga kualitasnya.
Bank Indonesia pun akan memastikan tidak terjadi
kekurangan uang layak edar, ketika uang dekil dan rusak ini dimusnahkan. Kalau
uang kita dalam kondisi yang layak edar, tentu akan lebih mudah bagi kita untuk
menghargai mata uang Rupiah. Uang yang berkualitas baik juga lebih mudah
dikenali keasliannya.
DAMPAK
PEREDARAN UANG PALSU BAGI PEREKONOMIAN
Uang palsu (upal) merupakan salah satu tindak
kejahatan yang memiliki dampak luas terhadap perekonomian suatu negara.
Sejatinya uang yang sah memiliki back-up berupa emas atau devisa dari negara
sebagai bentuk jaminan dari negara. Upal atau uang ilegal yang tidak memiliki
jaminan dari pihak mana pun.
Sesuai data Bank Indonesia (BI, 2011) Secara
kuantitas, jumlah temuan uang palsu pada tahun 2011 (periode bulan
Januari-Oktober 2011) sebanyak 9 bilyet per 1 juta lembar uang Rupiah yang
beredar. Sebagai informasi, jumlah temuan uang palsu pada tahun 2010 rata-rata
sebanyak 20 bilyet per 1 juta lembar uang Rupiah yang beredar. Temuan uang
palsu sebanyak 41.080 lembar Januari hingga Juni 2012.
Nominal uang rupiah yang paling banyak dipalsukan
adalah pecahan Rp. 100.000 sebanyak 21.497 lembar atau 52,33 persen. Sementara
di urutan kedua adalah pecahan Rp 50.000 sebanyak 17.260 lembar atau 42,02
persen. Dengan demikian kedua pecahan tersebut menempati 94,35 persen dari
total uang rupiah yang dipalsukan. (Asiza, 2013) mengakibatkan negara mengalami
kerugian yang sangat besar karena tindakan pemalsuan uang.
Kejahatan uang palsu juga merupakan kejahatan yang
sangat kompleks karena kejahatan ini terjadi antartempat dan antarwaktu,
memiliki mobilitas tinggi, serta didukung oleh alat dan teknologi yang cukup
canggih.
KESIMPULAN
Dari uraian yang diuraikan dalam bab pembahasan
diatas, maka dapat disimpulkan sbb :
1.
Menjaga stabilitas nilai tukar rupiah adalah tujuan Bank Indonesia
sebagaimana diamanatkan Undang-Undang No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia.
2. Uang
palsu (upal) merupakan salah satu tindak kejahatan yang memiliki dampak luas
terhadap perekonomian suatu negara. Sejatinya uang yang sah memiliki back-up
berupa emas atau devisa dari negara sebagai bentuk jaminan dari negara. Upal
atau uang ilegal yang tidak memiliki jaminan dari pihak mana pun. Sehingga
pemalsuan uang dapat mengakibatkan negara mengalami kerugian yang sangat besar
karena tindakan pemalsuan uang.
SARAN
Demikianlah Ulasan yang saya buat ini, mudah –
mudahan apa yang saya paparkan bisa menjadi tambahan pengetahuan bagi kita
semua untuk lebih mengenal mengenai peran Bank Indonesia (BI) dalam menyusun
langkah –langkah untuk mengatasi peredaran uang palsu.
Saya menyadari apa yang saya paparkan dalam ulasan
ini tentu masih belum sesuai apa yang di harapkan dengan ini saya berharap masukan yang lebih banyak
lagi dari guru pembimbing dan teman – teman semua.
Komentar
Posting Komentar